Feminisme menjadi sebuah diskursus yang cukup “seksi” untuk di selami. Bak sebuah makanan yang lezat, sehingga mampu membuat air liur saya menetes untuk mencicipinya. Saya gak mau juga dibilang laki-laki yang egois. Karena apa? Karena ada sebagian perempuan (pejuang feminisme khususnya) yang menganggap laki-laki yang tidak concern dengan masalah feminisme adalah laki-laki yang diuntungkan oleh kondisi “status quo”. Yakni laki-laki yang telah nyaman dengan pola hubungan antara peran sosialnya dengan lawan jenisnya.
Bagi pejuang feminisme, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan saat ini dinilai “kurang sehat”. Yakni laki-laki masih mendomonasi perempuan. Sehingga menempatkan perempuan pada posisi yang subordinat. Banyak juga laki-laki yang berwatak misoginis sehingga memperlakukan perempuan secara inhuman. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Sebuah langkah dekonstruksi wajib hukumnya untuk menciptakan “konsep baru”. Yakni konsep pola hubungan yang sehat antara perempuan dan laki-laki.
Muara akhir yang ingin dicapai tentunya adalah kesetaraan gender yang menitikberatkan pada peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang setara. Budaya patriarki dianggap sebagai sumber dari ketimpangan peran. Karena laki-laki memegang peranan yang sangat dominan. Disini perempuan dibatasi ruang geraknya yakni hanya boleh berperan disektor “domestik” seperti dapur, sumur dan kasur. Sedangkan kaum laki-lakinya mengambil peranan disektor public.
Sector public dianggap lebih tinggi kedudukannya karena dinilai lebih produktif (menghasilkan uang). Sedangkan sector domestic memiliki kedudukan yang lebih rendah dan kurang produktif. Oleh karena itu perempuan pun dianggap lebih rendah kedudukannya dari laki-laki.
Kesadaran akan “penindasan” yang dialaminya, maka muncul lah sebuah gerakan feminism yang lahir dari negara barat guna memperjuangkan kesetaraan gender. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang egaliter. Dikotomi peran domestic dan public yang didasarkan pada jenis kelamin merupakan paradigma lama yang sudah saatnya di tinjau ulang, bahkan kalau bisa harus segera disingkirkan.
Kesetaraan gender disini adalah kesetaraan yang didasarkan atas peranan seseorang yang merupakan bentukan dari kontruksi sosial, bukan didasarkan atas jenis kelamin kodrati. Misalnya saja seorang perempuan yang menjadi pilot pesawat terbang. Hal ini memungkinkan ketika perempuan tersebut memilik kapasitas untuk melakukan pekerjaan itu. Disini baik laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan (peran) yang sama. Selama keduanya memiliki kapasitas, keduanya bisa menjadi pilot. Jangan karena alasan dia perempuan lantas tidak bisa menjadi seorang pilot. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya bias gender.
Perempuan kini tidak bisa diremehkan lagi kemampuannya. Bahkan bisa bersaing dengan kelompok laki-laki, malah terkadang bisa mengalahkan kelompok laki-laki. Jaman sekarang memungkinkan seorang perempuan untuk berekspresi di ruang public atau istilah yang popular adalah emansipasi. Perempuan yang mampu berperan di ruang public melambangkan perempuan yang mandiri dan modern. Ini merupakan model yang terdapat pada masyarakat barat. Namun nampaknya sudah banyak ditiru oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kini banyak perempuan Indonesia mengambil peran di sector public dengan menjadi wanita karir. Dalam era industrialis kapitalis sekarang ini, banyak perempuan yang bekerja demi menghasilkan pundi-pundi rupiah. Perempuan kini secara tidak sadar menjadi bagian dari lingkaran kapitalis.
Dalam kondisi seperti ini, perempuan menjadi rentan untuk di eksploitasi. Perempuan di jadikan “mesin” pencetak uang yang tentu saja pihak yang selalu diuntungkan adalah kaum kapital (pemodal). Selain itu perempuan yang bekerja diluar juga rentan terhadap (maaf) pelecehan sexual di lingkungan kerjanya. Seorang Sales Promotion Girl (SPG) misalnya, dituntut untuk berpenampilan menarik. Bahkan terkadang harus memamerkan sebagian keindahan tubuhnya. Secara tidak langsung dan tanpa disadari dirinya telah memebuka peluang untuk dilecehkan oleh kelompok laki-laki baik melalui mata nakalnya atau pun juga melalui fisical touch.
Memang dalam hal ini perempuan sungguh dihadapkan pada persoalan yang dilematis, terjebak pada dikotomi ranah domestic dan public. Konsep kesetaraan gender yang terkadang malah menjebak dan menjerumuskan perempuan dalam kubangan penderitaan yang lebih dalam.
So, bagi para perempuan saya serahkan pilhan kepada anda. Karena hanya perempuan lah yang mengetahui permasalahannya sendiri.
Namun persoalan yang substansial adalah bukanlah pada pilihan bagi perempuan untuk menentukan sikapnya. Tapi pada saling pengertiannya antara laki-laki dan perempuan dalam suatu relasi yang terkait dengan peran masing-masing.
Maafkan bila tulisan ini dianggap kurang objektif dan gak proporsional. Ini hanya penerawangan yang gak ilmiah dari seorang laki-laki yang mencoba menyelami permasalahan perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar