Senja itu didepan televisi, saya dengan hikmat menikmati sebuah tayangan “ber-genre” reality show. Reality show ini mengangkat isu kemiskinan dan ini sungguh tayangan yang menggugah emosi pemirsanya. Betapa tidak, dijaman sekarang ini masih ada orang baik bak malaikat yang mau membantu “orang miskin”.
Sedikit saya deskripsikan tayangannya. Ada seorang gadis muda (biasanya mahasiswi, artis, model dan eksekutive muda) yang rela tinggal dengan sebuah keluarga miskin untuk menelusuri sisi-sisi kehidupan keseharian keluarga tersebut seperti mata pencaharian, pendidikan, pendapatan dan juga kesulitan-kesulitan yang dimiliki keluarga tersebut.
Dari mulai bangun tidur, sampai tidur lagi semua aktivitas keluarga ini “diekspose” ke public guna konsumsi pemirsanya dan menjadi “hiburan” tersendiri. Simpati dan rasa haru pun ikut mewarnai pemirsa ketika menonton tayangan tersebut.
Dalam akhir tayangan, keluarga ini mendapat kejuatan beberapa hadiah baik berupa barang atau pun uang dari sponsor. Tentu saja keluarga ini sangat senang sekali ketika mendapatkan hadiah-hadiah tersebut. Termasuk pemirsa yang menonton tayangan ini pun merasa senang.
Apakah anda merasakan hal yang sama? Atau memiliki perasaan yang lain?
Kebaikan, termasuk menolong terhadap sesama merupakan perbuatan yang mulia, terlebih lagi tayangan ini diharapkan bisa menjadi contoh bagi pemirsanya. Mungkin maksud tayangan ini kebaikan harus dicontohkan bukan hanya dibicarakan,“retorika”.
Tapi alangkah tidak terpujinya jika tayangan tersebut hanya bersifat “ria” berbuat baik yang bertujuan hanya ingin di puji orang lain. Dan lebih jahatnya lagi kalau tayangan tersebut hanya ingin mencari keuntungan semata dari sponsor dan iklan dengan cara “mengeksploitasi” orang-orang miskin. Menjadikan isu kemiskinan sebagai bisnis.
Hadiah yang diberikan kepada “korban” itu tidak seberapa nilainya dibandingkan dengan keuntungan yang didapat oleh pemilik tayangan tersebut. “Bisnis is bisnis” begitulah otak kapitalisme.
Cara yang lebih bijak adalah berbuat baik ya berbuat baik saja gak ada motif lain dibelakangnya. Bukankah nabi mengajarkan kalau tangan kanan berbuat baik, tangan kiri itu tidak boleh tahu?.
Memang ada tingkatan mengapa orang berbuat baik. Pertama, berbuat baik karena orang telah berbuat baik pada dirinya, kedua, berbuat baik karena menginginkan sesuatu, ketiga orang berbuat baik hanya karena ingin berbuat baik saja tanpa dilatarbelakangi apapun. Nah yang ketiga inilah tingkatan yang paling tinggi.
Apakah para produser tayangan reality show bisa melakukan hal ini? Berbuat baik tanpa harus dilihat public. Apalagi harus mengeksploitasi orang-orang miskin. Sungguh mustahil agaknya.
Alangkah bijaknya jika kita tetap bersikap “positif thinking”, mudah-mudahan reality show tersebut benar-benar “ikhlas” tanpa ada motif lain dibelakngnya. Kalau tidak…? Kelaut aja deh..!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar