Selasa, 31 Juli 2012

PUASA, EMPATI DAN FANTASI KULINER


Maafkan aku yah Tuhan…aku cuti tadarusan dulu, mau menyampah diblog nih. Tapi bingung sih sebenarnya, mau nulis tentang ramadhan gak punya referensi yang representatif. Maklum bukan anak masjid heheee..gak usah yg berat-berat ah tentang kuliner saja.

Ramadhan merupakan bulan suci dimana umat muslim didalamnya menjalankan ibadah puasa. Puasa mengatur tentang pembatasan-pembatasan tertentu terhadap aktifitas umat. Ramadhan juga mengajarkan kita untuk “berempati” kepada sesama (semua itu kata ustad-ustad yang di televisi loh..) hehee.

Istilah “empati” dalam sumber-sumber yang aku search di google bermacam-macam definisinya. Mungkin karena beda redaksional-gaya bahasa, atau selera retorik dari orang-orang yang mendifinisikannya. 

Menurut Bullmer, empati adalah suatu proses ketika seseorang merasakan perasaan orang lain dan menangkap arti perasaan itu, kemudian mengkomunikasikannya dengan kepekaan sedemikian rupa hingga menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti perasaan orang lain itu.

Yah, intinya mah empati itu “ikut merasakan apa yang orang lain rasakan” mudah-mudahan gak salah :). 

Jika dalam bulan puasa itu kita diwajibkan untuk menahan makan dan minum pada siang hari, kaitannya dengan “empati” adalah kita disuruh ikut merasakan bagaimana laparnya orang-orang miskin yang sulit mendapatkan makan. Jikalau ada makanan toh itu hanya hidangan yang sangat sederhana.

Permasalahannya adalah apakah kita bisa berempati juga terhadap hidangan sederhana yang orang-orang miskin biasa makan?. Atau sebaliknya pada bulan puasa justru kita malah mengkonsumsi hidangan-hidangan mewah yang pada hari-hari biasa justru tidak ada?

Berempati disini sih maksudnya bukan juga untuk “pelit” terhadap diri sendiri. Tapi paling tidak yah sederha dan jangan berlebih-lebihan. 

Bayangkan saja, berbagai jenis makanan akan muncul ketika bulan puasa. Bahkan cenderung mengada-adakan yang seharusnya tidak harus ada. Padahal toh seringnya banyak juga yang mubazir yang diakibatkan terlalu bernafsunya diri kita pada makanan.

Jikalau kejadiannya sudah seperti ini, apalah makna empati dari puasa ramadhan lagi?. Toh justru kita malah makin menggila dengan mengikuti hawa nafsu fantasi kuliner kita. 

Marilah kita bersama bercermin, apakah kita sudah memaknai puasa kita?. Jawabannya hanya kita sendiri yang tahu. Selamat berpuasa….




Tidak ada komentar:

Posting Komentar