Maafkan aku
yah Tuhan…aku cuti tadarusan dulu, mau menyampah diblog nih. Tapi bingung sih
sebenarnya, mau nulis tentang ramadhan gak punya referensi yang representatif. Maklum
bukan anak masjid heheee..gak usah yg berat-berat ah tentang kuliner saja.
Ramadhan merupakan
bulan suci dimana umat muslim didalamnya menjalankan ibadah puasa. Puasa
mengatur tentang pembatasan-pembatasan tertentu terhadap aktifitas umat. Ramadhan
juga mengajarkan kita untuk “berempati” kepada sesama (semua itu kata
ustad-ustad yang di televisi loh..) hehee.
Istilah “empati” dalam sumber-sumber yang aku search di google bermacam-macam definisinya. Mungkin karena beda redaksional-gaya bahasa, atau selera retorik dari orang-orang yang mendifinisikannya.
Menurut
Bullmer, empati adalah suatu proses ketika seseorang merasakan perasaan orang
lain dan menangkap arti perasaan itu, kemudian mengkomunikasikannya dengan
kepekaan sedemikian rupa hingga menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti
perasaan orang lain itu.
Yah, intinya
mah empati itu “ikut merasakan apa yang orang lain rasakan” mudah-mudahan gak
salah :).
Jika dalam
bulan puasa itu kita diwajibkan untuk menahan makan dan minum pada siang hari,
kaitannya dengan “empati” adalah kita disuruh ikut merasakan bagaimana laparnya
orang-orang miskin yang sulit mendapatkan makan. Jikalau ada makanan toh itu
hanya hidangan yang sangat sederhana.
Permasalahannya
adalah apakah kita bisa berempati juga terhadap hidangan sederhana yang
orang-orang miskin biasa makan?. Atau sebaliknya pada bulan puasa justru kita
malah mengkonsumsi hidangan-hidangan mewah yang pada hari-hari biasa justru
tidak ada?
Berempati
disini sih maksudnya bukan juga untuk “pelit” terhadap diri sendiri. Tapi paling
tidak yah sederha dan jangan berlebih-lebihan.
Bayangkan saja,
berbagai jenis makanan akan muncul ketika bulan puasa. Bahkan cenderung
mengada-adakan yang seharusnya tidak harus ada. Padahal toh seringnya banyak
juga yang mubazir yang diakibatkan terlalu bernafsunya diri kita pada makanan.
Jikalau
kejadiannya sudah seperti ini, apalah makna empati dari puasa ramadhan lagi?. Toh
justru kita malah makin menggila dengan mengikuti hawa nafsu fantasi kuliner
kita.
Marilah kita
bersama bercermin, apakah kita sudah memaknai puasa kita?. Jawabannya hanya
kita sendiri yang tahu. Selamat berpuasa….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar